MAHA GURU SUFI DAN PEMBAHARU AJARAN TASAWUF

 


SYAIKHUL IMAM MUHAMMAD BAHAUDDIN ANNAQSYABANDI, MAHA GURU SUFI DAN PEMBAHARU AJARAN TASAWUF
Dikisahkan sejak kecil beliau sudah menunjukkan dirinya sebagai orang yang cerdas dan berilmu tinggi. Nama lengkapnya adalah Muhammad ibnu Muhammad ibnu Muhammad Al-Husayni Al-Uwaysi Al-Bukhari. Ia lahir di Qasrel Arifan, sebuah desa di kawasan Bukhara, Asia Tengah, pada bulan Muharram tahun 717 H/1317 M.
Nasabnya bersambung kepada Rasulullah Saw melalui Sayyidina Al-Husain RA.
Semua keturunan Al-Husain di Asia Tengah dan anak benua India lazim diberi gelar shah, sedangkan keturunan Al-Hasan biasa dikenal dengan gelar zadah dari kata bahasa Arab saadah (bentuk plural dari kata sayyid) sesuai dengan sabda Rasulullah SAW tentang Al-Hasan RA, ''Sesungguhnya anakku ini adalah seorang sayyid.''
Shah Naqshaband diberi gelar Bahauddin karena berhasil menonjolkan sikap beragama yang lurus, tetapi tidak kering. Kemudian, sikap beragama yang benar, tetapi penuh penghayatan yang indah. Pada masanya, tradisi keagamaan Islam di Asia Tengah berada di bawah bimbingan para guru besar Sufi yang dikenal sebagai khwajakan (bentuk plural dari khwaja' atau khoja' dalam bahasa Persia berarti para kiai agung).
Dan, pembesar mereka adalah Khoja Baba Sammasi yang ketika Muhammad Bahauddin lahir, ia melihat cahaya menyembur (Memancar) dari arah Qasrel Arifan, yaitu saat Sammasi mengunjungi desa sebelah. Baba Sammasi lalu memberitahukan bahwa dari desa itu akan muncul seorang Wali Agung. Sekitar 18 tahun kemudian, Khoja Baba Sammasi memanggil kakeknya Syaikh Bahauddin agar membawanya ke hadapan dirinya dan langsung dibaiat. Ia lalu mengangkat Bahauddin sebagai putranya. Sebelum meninggal dunia, Baba Sammasi memberi wasiat kepada penggantinya, Sayyid Amir Al Kulali, agar mendidik Bahauddin meniti suluk sufi sampai ke puncaknya seraya menegaskan, "Semua ilmu dan pencerahan spiritual yang telah kuberikan menjadi tidak halal bagimu kalau kamu lalai melaksanakan wasiat ini!"
Syaikh Bahauddin pun berangkat ke kediaman Sayyid Amir Kulali di Nasaf dengan membawa bekal dasar yang telah diberikan oleh Baba Sammasi. Sammasi menyatakan jalan tasawuf dimulai dengan menjaga kesopanan tindak-tanduk (Adab) dan perasaan hati agar tidak lancang kepada Allah, kepada Rasulullah, dan kepada guru.
Bahauddin juga percaya bahwa sebuah jalan spiritual hanya bisa mengantarkan tujuan kalau dilalui dengan sikap rendah hati (Tawadhu) dan penuh konsistensi. Karena itu, melakukan makna eksplisit dari sebuah perintah barangkali harus diundurkan demi menjaga kesantunan. Inilah yang dilakukan oleh Bahauddin ketika dihentikan oleh seorang lelaki berkuda yang memerintahkan dirinya agar berguru kepada orang tersebut.
Dengan tegas, tetapi sopan, ia menolak seraya menyatakan bahwa dia tahu siapa lelaki itu. Masalah berguru kepada seorang tokoh adalah persoalan jodoh, meskipun lelaki berkuda tadi sangat mumpuni, ia tidak berjodoh dengan Bahauddin.
Setelah tiba di hadapan Sayyid Amir Al Kulali, Bahauddin langsung ditanya mengapa menolak perintah lelaki berkuda yang sebenarnya adalah Nabi Khidir AS ? Beliau menjawab, "Karena, hamba diperintahkan untuk berguru kepada Anda semata!".
Di bawah asuhan Sayyid Amir Kulali, Bahauddin mengalami berbagai peristiwa yang mencengangkan. Di antaranya, beliau pernah ditangkap oleh dua orang tak dikenal dan dikirimkan ke makam seorang wali.
Di sana, dia mendapatkan lentera yang minyaknya masih banyak dan sumbunya juga masih panjang, tetapi apinya hampir padam. Bahauddin mendapat ilham untuk menggerakkan sedikit sumbu itu agar aliran bahan bakar menjadi lancar. Dengan khusyuk, ia melakukannya, tahu-tahu sekat pembatas antara dunia nyata dan alam barzakh terbuka di hadapan beliau. Di balik tabir ruang dan waktu itulah, Bahauddin mendapatkan semua Mahaguru khawajakan yang sudah meninggal dunia, termasuk guru pertamanya, Khoja Baba Sammasi. Oleh salah seorang guru mereka, Bahauddin dihadapkan kepada kepala aliran khawajakan, yaitu Syaikh Abdul Khaliq Al Gujdawani. Dari Mahaguru yang agung inilah, Bahauddin mendapatkan bimbingan langsung dalam meniti suluk sufi. Sejak saat itu, Bahauddin dikenal dengan gelar Al-Uwaysi karena mendapatkan pelajaran spiritual langsung dari Ruhaniyah seorang guru yang sudah meninggal dan tidak pernah ditemuinya di dunia. Hal ini sama dengan Uways Al-Qarny, seorang tabiin yang mendapatkan pelajaran spiritual langsung dari Rohaniyah Sayyidina Rasulillah SAW.
Di bawah bimbingan Sayyid Amir Kulali pula, Bahauddin terus mempraktikkan semua ajaran Abdul Khaliq Gujdawani, sebagaimana beliau juga mempelajari dengan tekun ilmu-ilmu Islam lainnya, khususnya akidah, fikih, hadis, dan sirah Nabi SAW.
Dan, karena wasiat dari Baba Sammasi, tidak heran kalau Amir Kulali memberikan perhatian khusus kepada Bahauddin. Setelah semua ilmu dan pencerahan spiritual yang ada pada gurunya diserap habis, sayyid Amir Kulali memerintahkan Bahauddin untuk pergi mengembara seraya menunjuk ke puting dadanya dan berkata, "Semua yang ada di sumber ini sudah habis kamu sedot, maka pergi mengembaralah!"
Syaikh Bahauddin kemudian belajar kepada beberapa mahaguru yang lain, seperti Khoja Arif Dikkarani dan Syaikh Hakim Ata, hingga beliau menjadi mahaguru sufi terbesar yang pernah muncul dari kawasan Asia Tengah (sekarang adalah negara-negara persemakmuran bekas USSR), Persia, Turki, dan Eropa Timur. Beliau meninggal pada malam Senin, 3 Rabiul Awwal 791 H/1391 M.
Karena di dadanya terukir Lafdzul Jalalah (Allah) yang bercahaya, ia dikenal juga sebagai "Naqshaband" (bahasa Persia yang berarti: gambar yang berbuhul). Dan, kepada beliau, dinisbahkan Tarekat Naqsyabandiyah yang merupakan salah satu tarekat terbesar di dunia. Tarekat ini tersebar luas di Turki, Hejaz, kawasan Persia, Asia Tengah, serta anak benua India dan Indonesia.
Adanya Thoriqat Naqsyabandiyah ternyata mampu mempertahankan identitas keislaman di Asia Tengah dan Eropa Timur, di tengah prahara komunisme yang menerpa selama lebih dari setengah abad. Para pemimpin kebangkitan Islam di Turki, seperti Erbakan dan Erdogan, juga berafiliasi kepada tarekat ini. Bahkan, akhir-akhir ini, Tarekat Naqsyabandiyah memainkan peranan sangat penting dalam penyebaran Islam di Eropa dan Amerika. Sementara itu, di Indonesia, ada beberapa cabang Thorikah Naqsyabandiyah, seperti Khalidiyah, Mujaddidiyah, dan Muzhariyah. Yang terbesar adalah Thoriqah Qadiriyah Wan Naqshabandiyah (TQN) yangmerupakan hasil simbiosis (Gabungan) dua tarekat terbesar di dunia.
Shah Naqshaband muncul untuk merevitalisasi perilaku beragama dengan mengajak kembali kepada tradisi yang hidup pada zaman Nabi SAW. Bagi Shah Naqshaband, hakikat sebuah tarekat adalah penerapan ajaran syariat dalam wujud yang paling sempurna dan konsisten. Sementara itu, hakikat adalah terealisasikannya "maqam kehambaan" seorang anak manusia di hadapan Allah semata. Shah Naqshaband menyatakan bahwa tasawwuf adalah inti agama dan inti terdalam dari tasawuf itu sendiri adalah muraqabah, musyahadah, dan muhasabah. Muraqabah adalah melupakan segala sesuatu yang selain Allah dengan hanya memfokuskan hati dan perbuatan hanya kepada-nya.
Musyahadah adalah menyaksikan keagungan dan keindahan Allah dalam seluruh eksistensi. Sementara itu, muhasabah adalah instropeksi diri yang terus-menerus agar tidak lalai dari jalan yang mulia ini. Dengan ketiga inti tasawuf itu, hati seorang shaleh terus hidup dan dihidupkan oleh dzikir dan kebersamaan bersama Allah dalam setiap detak jantung dan embusan napasnya sampai dia tertidur sekalipun. Agar mencapai maqam tersebut, seorang shaleh harus menjalani pelatihan di bawah bimbingan seorang Mursyid (mahaguru spiritual). Dialah yang akan mengajarkannya prosesi berdzikir dalam hati sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al Qur'an :
وَاذْكُرْ رَّبَّكَ فِيْ نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَّخِيْفَةً وَّدُوْنَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْاٰصَالِ وَلَا تَكُنْ مِّنَ الْغٰفِلِيْنَ‎
Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah." (QS Al-A`raaf: 205).
Dzikir dalam hati dipilih karena silsilah utama tarekat ini bersambung melalui Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq. Metode zikir ini diajari oleh Rasulullah dan berbeda dengan tarekat lain yang semuanya bersambung melalui Imam Ali bin Abi Thalib RA yang diajari berzikir dengan menggunakan suara jelas.
Dzikir dalam hati adalah ibadah yang terbesar sesuai dengan bunyi tekstual QS Al-`Ankabuut:
اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ‎
Bacalah Kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.( QS Al-Ankabuut: 45)
Dzikir dalam hati yang dilakukan oleh seorang penganut Naqsyabandiyah menggunakan Lafdzul Jalalah (Allah) dan Laa Ilaaha illalLaah yang dilafadzkan dengan cara tertentu sebagaimana diajarkan langsung oleh seorang Mahaguru sufi (syaikh). Dengan prosesi zikir ini, seorang Naqsyabandi meniti tangga-tangga makrifat. Shah Naqshaband pernah menyatakan bahwa shalat adalah titian spiritual yang paling efektif bagi seorang shaleh asalkan shalatnya khusyuk. Untuk mewujudkannya, seorang shaleh diharuskan mengonsumsi makanan yang halal baginya dan tidak pernah lalai mengingat atau "bersama" dengan Allah dalam kesehariannya, lebih khusus lagi saat berwudhu serta bertakbiratul ihram. Disisi lain, bertasawuf bagi Shah Naqshaband adalah sebuah perilaku sosial yang positif. Bukan sekadar berbudi pekerti yang luhur, melainkan juga berbuat kebajikan kepada sesama makhluk Allah. Seorang yang shaleh tidak boleh merasa dirinya lebih mulia dari seekor anjing sekalipun. Dia juga selalu siap mengulurkan tangan kepada siapa pun yang membutuhkan bantuan. Bahkan, bantuan tersebut bukan sekadar diberikan dalam bentuk material semata, tetapi juga rohaniah dan spiritual.
Selain itu, bertasawwuf juga berarti menghormati waktu.
Shah Naqshaband pernah menegaskannya dalam bahasa Persia, "Orang yang berakal pasti tidak suka berkawan dengan seorang yang suka menunda-nunda pekerjaan jika mampu dilakukannya hari ini."
Waktu harus digunakan untuk ibadah dalam pengertiannya yang paling komprehensif, berbuat kebajikan, baik yang ritual maupun yang sosial. Dan, tidak boleh ada waktu yang berlalu sedetikpun tanpa yakin bahwa kita selalu "mengingat" dan "bersama" Allah. Dengan demikian, bertasawwuf bagi Shah Naqshaband adalah mewujudkan ketundukan penuh kepada Nabi Muhammad SAW secara paripurna, menjalankan perintahnya, menghindari larangannya, meneladani perbuatannya, dan menghayati spiritualitasnya, sesuai dengan ajaran Islam menurut mazhab ahlussunnah wal jamaah.
Tidak heran kalau banyak ulama yang mengakui bahwa Tarekat Naqshabandiyah adalah saripati semua tarekat sufi. Dan, barang siapa yang suluknya tidak sesuai dengan ajaran Shah Naqshaband di atas berarti sudah keluar dari jalur yang benar meskipun mengaku sebagai pengikut beliau. Shah Naqshaband pernah menegaskan, "Tasawuf adalah syariat. Dan, barang siapa yang mengaku sebagai pengikut tasawwuf, tetapi tidak menerapkan syariat, berarti dia telah sangat tersesat!".

[ Sumber dari Muhammad bersama Khusnul Jauhari Jauhari Jauhari ]


Share on Google Plus

About roslanTv Tarekat

Ut wisi enim ad minim veniam, quis nostrud exerci tation ullamcorper suscipit lobortis nisl ut aliquip ex ea commodo consequat. Duis autem vel eum iriure dolor in hendrerit in vulputate velit esse molestie consequat, vel illum dolore eu feugiat nulla facilisis at vero eros et accumsan et iusto odio dignissim qui blandit praesent luptatum zzril delenit augue duis.

0 comments:

Catat Ulasan