Biografi Rabi'ah al-Adawiyah
Biografi Rabi'ah al-Adawiyah
Rabi'ah dilahirkan di kota Basrah, Irak, sekitar abad ke delapan tahun 713-717 Masehi.
Ia dilahirkan dari keluarga yang sangat miskin dan merupakan anak keempat dari empat bersaudara, sehingga ia dinamakan Rabiah yang berarti anak keempat.
Ayahnya bernama Ismail, ketika malam menjelang kelahiran Rabi'ah, keadaan ekonomi keluarga Ismail sangatlah buruk sehingga ia tidak memiliki uang dan penerangan untuk menemani istrinya yang akan melahirkan.
Beberapa hari setelah kelahiran Rabi'ah, Ismail bermimpi bertemu dengan nabi Muhammad, dalam mimpinya dia berkata pada Ismail agar jangan bersedih karena anaknya, Rabi'ah, akan menjadi seorang wanita yang mulia, sehingga banyak orang akan mengharapkan syafaatnya.
Menjadi yatim piatu
*****************
Sejak kecil Rabi'ah sudah dikenal sebagai anak yang cerdas dan taat beragama. Beberapa tahun kemudian, ayahnya, Ismail, meninggal dunia kemudian disusul oleh ibunya, sehingga Rabi'ah dan ketiga saudara perempuannya menjadi anak yatim piatu.
Ayah dan Ibunya hanya meninggalkan harta berupa sebuah perahu yang kemudian digunakan Rabi'ah untuk mencari nafkah.
Rabi'ah bekerja sebagai penarik perahu yang menyebrangkan orang dari tepi Sungai Dajlah ke tepi sungai yang lain. Sementara ketiga saudara perempuannya bekerja dirumah menenun kain atau memintal benang.
Menjadi hamba sahaya
--------------------
Ketika kota Basrah dilanda berbagai bencana alam dan kekeringan akibat kemarau panjang, Rabi'ah dan ketiga saudara perempuannya memutuskan untuk berkelana ke berbagai daerah untuk bertahan hidup.
Dalam pengembaraanya, Rabi'ah terpisah dengan ketiga saudara perempuannya sehingga ia hidup seorang diri.
Pada saat itulah Rabi'ah diculik oleh sekelompok penyamun kemudian dijual sebagai hamba sahaya seharga enam dirham kepada seorang pedagang. Pedagang yang membeli Rabi'ah sebagai hamba sahaya memperlakukannya dengan kejam, sehingga Rabi'ah harus selalu bekerja keras sepanjang hari.
Dalam suatu malam, Rabi'ah bermunajat kepada Allah jika ia dapat bebas dari perbudakan maka ia tak akan berhenti sedikit pun beribadah.
Ketika Rabi'ah sedang berdoa dan melakukan salat malam, pedagang yang menjadi majikannya itu dikejutkan oleh sebuah lentera yang bergantung di atas kepala Rabi'ah tanpa ada sehelai tali pun Cahaya bagaikan lentera yang menyinari seluruh rumah itu merupakan cahaya sakinah (diambil dari bahasa Ibrani yaitu "Shekina" yang berarti cahaya rahmat Tuhan) dari seorang muslimah suci.
Melihat peristiwa tidak biasa yang terjadi pada Rabi'ah, pedagang itu menjadi ketakutan dan keesokan harinya membebaskan Rabi'ah.
Sebelum Rabi'ah pergi, Pedagang itu menawarkan Rabi'ah untuk tinggal di Basrah dan ia akan menanggung segala keperluan dan kebutuhan Rabi'ah, namun karena kezuhudannya, Rabi'ah menolak dan sesuai janjinya jika ia bebas, maka Rabi'ah akan mengabdikan hidupnya hanya untuk beribadah.
Kehidupan sebagai sufi dan pilihan untuk tidak menikah
---------------------------
Setelah bebas sebagai hamba sahaya, Rabi'ah pergi mengembara di padang pasir.Setelah beberapa saat tinggal di padang pasir, ia menemukan tempat tinggal.Di tempat itulah ia menghabiskan seluruh waktunya beribadah kepada Allah.Rabiah juga memiliki majelis yang dikunjungi banyak murid.
Majelisnya itu juga sering dikunjungi oleh zahid-zahid lain untuk bertukar pikiran. Di antara mereka yang pernah mengunjungi majelis Rabi'ah adalah, Malik bin Dinar (wafat 748/130 H), Sufyan as-Sauri (wafat 778 / 161H), dan Syaqiq al-Balkhi (wafat 810/194H). Rabi'ah hanya tidur sedikit disiang hari dan menghabiskan sepanjang malam untuk bermunajat sehingga ia dikenal sebagai pujangga dengan syair-syair cintanya yang indah kepada Allah.
Rabi'ah telah terkenal karena kecerdasan dan ketaatannya ke pelosok negeri sehingga ia menerima banyak lamaran untuk menikah.
Di antara mereka yang melamarnya adalah Abdul Wahid bin Zaid, seorang teolog dan ulama, Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang amir dari dinasti Abbasiyah yang sangat kaya, juga seorang Gubernur yang meminta rakyat Basrah untuk mencarikannya seorang istri dan penduduk Basrah bersepakat bahwa Rabi'ah adalah orang yang tepat untuk gubernur tersebut.
Riwayat lain juga menyebutkan bahwa Hasan al-Bashri, seorang sufi besar dan sahabat Rabi'ah, juga meminangnya, namun hal itu masih diragukan kebenarannya mengingat Hasan al-Bashri meninggal 70 tahun sebelum kematian Rabi'ah.
Rabi'ah menolak seluruh lamaran itu dan memilih untuk tidak menikah.
Meskipun tidak menikah, Rabi'ah sadar bahwa pernikahan termasuk sunah agama, sebab, tidak ada kependetaan (bahasa Arab: Rahbaniyah) dalam syariat islam.Rabi'ah memilih untuk tidak menikah karena ia takut tidak bisa bertindak adil terhadap suami dan anak-anaknya kelak karena hati dan perhatiannya sudah tercurahkan kepada Allah.
Tidak ada satupun di dunia ini yang dicintai Rabi'ah kecuali Allah. Sehingga atas dasar itulah, Rabi'ah memuntuskan untuk tidak menikah hingga akhir hidupnya.
Akhir hidup beliau(wafat)
Sekembalinya Rabi'ah dari Mekah untuk melaksanakan ibadah haji, kesehatan Rabi'ah mulai menurun.Ia tinggal bersama sahabatnya, Abdah binti Abi Shawwal, yang telah menemaninya dengan baik hingga akhir hidupnya. Rabi'ah tak pernah mau menyusahkan orang lain,Sehingga ia meminta kepada Abdah untuk membungkus jenazahnya nanti dengan kain kafan yang telah ia sediakan sejak lama. Menjelang kematiannya, banyak orang-orang saleh ingin mendampinginya, namun Rabi'ah menolak.
Rabiah diperkirakan meninggal dalam usia 83 tahun pada tahun 801 Masehi / 185 Hijriah dan dimakamkan di Bashrah, Irak.
Ibnu Arabi adalah ulama tasawuf besar setelah masa Rabi'ah
Ketika menjadi hamba sahaya, Rabi'ah mengembangkan aliran sufi yang berlandaskan seluruh amal ibadahnya atas dasar cinta kepada Ilahi tanpa pamrih atas pahala, surga atau penyelamatan dari azab neraka.
Rabi'ah terkenal dengan metode cinta kepada Allah (Bahasa Arab: Al-mahabbah, artinya cinta tanpa pamrih) dan uns (kedekatan dengan Tuhan). Perkataan mistik Rabi'ah menggambarkan kesalehan dirinya, dan banyak di antara mereka yang menjadi kiasan atau kata-kata hikmah yang tersebar luas di wilyah-wilayah negara Islam.Rabi'ah al-Adawiyah terkenal zahid (tak tertarik pada harta dan kesenangan duniawi) dan tak pernah mau meminta pertolongan pada ornag lain. Ketika ia ditanya orang mengapa ia bersikap demikian, Rabi'ah menjawab:
“ Saya malu meminta sesuatu pada Dia yang memilikinya, apalagi pada orang-orang yang bukan menjadi pemilik sesuatu itu.Sesungguhnya Allah lah yang memberi rezeki kepadaku dan kepada mereka yang kaya.Apakah Dia yang memeberi rezeki kepada orang yang kaya, tidak memberi rezeki kepada orang-orang miskin? Sekiranya dia menghendaki begitu, maka kita harus menyadari posisi kita sebagai hamba-Nya dan haruslah kita menerimanya dengan hati rida (senang).”
Berbeda dari para zahid atau sufi yang mendahului dan sezaman dengannya, Rabi'ah dalam menjalankan tasawuf itu bukanlah karena dikuasai oleh perasaan takut kepada Allah atau takut kepada nerakanya.Hatinya penuh oleh perasaan cinta kepada Allah sebagai kekasihnya."
Para ulama tasawuf memandang Rabi'ah sebagai tonggak penting perkembangan tasawuf dari fase dominasi emosi takut kepada Allah menuju fase dominasi atau mengembangkan emosi cinta yang maksimal kepada-Nya.Tingkat kehidupan zuhud yang tadinya direntangkan oleh Hasan al-Bashri sebagai ketakutan dan pengharapan kepada Allah, telah dinaikkan maknanya oleh Rabi'ah sebagai zuhud karena cinta kepada Allah.
Rabi'ah telah membuka jalan ma'rifat Illahi sehingga ia menjadi teladan bagi para cendikiawan muslim, seperti Sufyan ath-Thawri, Rabah bin Amr al-Qaysi, dan Malik bin Dinar.
[ Sumber dari KUMPULAN SYAIR SUFI JALALUDDIN RUMMI DAN LAINNYA. ]
0 comments:
Catat Ulasan