*IQRÀ DALAM TINJAUAN SUFI*
Pandangan Ma'rifatnya :
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
(1) “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu” (Bismi Allàh), Dzat Yang Telah Menciptakan.
Ayat pertama memberi tau kita bahwa menyebut Nama Tuhan (ismu Dzat-ALLÀH) merupakan métode “membaca” (menemukan jawàban) tentang haqíqat yang kita cari. Àyat pertama diturunkan untuk menjawàb kebutuhan paling mendasar manusia tentang “adanya” Sang Khàlik serta “métode ma'rifat” tentang-Nya. Pada àyat pertama ini pula termuat visi utama kenabían, yaitu memperbaiki akhlàq. “Akhlàq” berakar pada kata “khàlik”. Akhlàq yang baik akan terwujud manakala ada Khàlik dalam diri kita. Akhlàq adalah perwujudan shifat-shifat ilàhiyah Sang Khàlik. Dzikir merupakan métode mensucikan diri, memanggil-manggil, menghadhirkan atau men-download karakter Khàlik (Allàh).
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
(2) “Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah”
Pada àyat kedua, Allàh menjelaskan bahwa dalam diri manusia ada “segumpal darah” (‘alaq). Inilah tempat bersemayamnya qalbu rúhaniah, atau haqíqat dari insàn. Dzikir bertujuan menghidupkan qalbu. Kita tidak pernah bisa menjangkau Allàh yang *laitsa kamislihí syaiun* itu. Namun Allàh dapat menghampiri qalbu yang tenang. Pada diri para shúfi ditemukan dimensi ‘alaq (hati dalam dimensi matérial) yang bergetar, setelah qalbu meréka (hati dalam diménsi jiwa) dihidupkan dengan dzikir.
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَٰنًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ.
“Sesungguhnya orang-orang yang berímàn itu adalah meréka yang apabila disebut nama Allàh gemetarlah hati meréka”
dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.
(QS. Al-Anfàl : 2).
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
(3)“Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia/Pemurah (Akram)”
Pada àyat ketiga ini Allàh berbicara tentang karamah yang bisa diperoléh manusia jika senantiasa berdzikir, membaca atau mengulang-ulang Asma-Nya. Allàh itu pemilik segala bentuk “akram” (kemuliaan). Siapapun akan memperoléh kemurahan dari Allàh ketika jiwa sudah bersama-Nya. Namun kita tidak bisa memaksa diri untuk berjumpa dengan-Nya. Dia sendiri yang memilih dengan siapa Dia ingin bertemu. Kita berhasil bukan karena usaha kita. Melainkan karena kebaikan-Nya sendiri. Kalau mau dihitung-hitung, lalai dan dosa kita lebih banyak daripada 'amal shàlih. Kita selamat semata-mata karena kasih sayang-Nya. Kemurahhatian Allàh lah yang kita cari.
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
(4)“Yang mengajar dengan perantaraan Qalam”
Pada àyat keempat Allàh menjelaskan, bahwa Dia mengajarkan kita dengan “perantara” (washilah), yaitu qalam. Dalam pengertian zhàhir-lahiriah, qalam adalah “péna” untuk menulis. Namun belum ada tradisi mengasah pena dalam dunia 'Arab sa'at itu. Jadi, pengertiannya lebih kepada ma'na bàthiniah. Yang dimaqsúd qalam disini adalah qalam ‘ala, “qalam awwal” atau éntitas pertama yang diciptakan Allàh, yang dengannya semua memperoléh wujud.[1] Itulah *Nur Muhammad*, sebuah perantara atau wasílah yang dengannya Tuhan menciptakan dan mengajarkan (membimbing) manusia. Ada banyak sebutan untuk *Qalam Awwal* : rúh, rúhul akbar, rúhul quddus, rúhul muqaddasah, rasúlullàh, haqíqat muhammad, Ahmad, nur muhammad, ‘aqlu awwal, malak, rúh ilahi, amar Allàh, núr, núrullàh, atau núrun ‘alà núrin.
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
(5) “Dia mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya”
Para ahli dzikir seperti nabí dan wali-wali-Nya merupakan qalam Allàh yang terus hadhir sepanjang zaman. Melalui perantaraan meréka Allàh mengajarkan manusia ésénsi pengetahuan. Rahasia-rahasia langit dan sesuatu yang tersembunyi menjadi diketahui karena adanya para nabí dan orang-orang kasyaf lainnya. Untuk memperoléh kebenaran tertinggi seperti yang dimiliki para kekasih Allàh, kita mesti riyàdhah bermujahadah. Dengan ritual iqra’ (membaca dengan menyebut-nyebut Nama Allàh) rúh manusia terkonéksi dengan rúh yang lebih tinggi (rúhul quddús). Rúhul quddús merupakan qalam Allàh, péna awwal atau bàthin Al-qur'àn. Melalui prosés dzikir dan penyucian jiwa seseorang memiliki ketersambungan dengan qalam Allàh ini :
لَّا يَمَسُّهُۥٓ إِلَّا ٱلْمُطَهَّرُونَ.
“Tidak ada yang dapat menjangkaunya kecuali orang-orang yang disucikan”
(QS. Al-Waqi’ah : 79).
Dan, merupakan anugerah kesempatan dari Allah bahwa kita memasuki Ramadhan ini. Ada malam-malam tertentu (disebut malam qadar) yang baik untuk kita melakukan riyàdhah sehingga memungkinkan untuk terkonéksi dengan diménsi malakut dan rúh ini :
تَنَزَّلُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ.
"Pada malam itu turun malàikat-malàikat dan Ar-Rúh (malàikat Jibril) dengan idzin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
(Al-Qadar : 4).
0 comments:
Catat Ulasan