Ahlul Bait Yang Tak Mengandalkan Nasab

 


Ahlul Bait Yang Tak Mengandalkan Nasab
Beliau adalah Sayyiduna Ali bin Husein bin Ali bin Abi Talib, dikenal dengan al-Imam as-Sajjad Zain al-‘Abidin. al-Husein cucu Rasulullah yang telah meninggal secara syahid di Karbala tidak memiliki keturunan kecuali dari satu jalur Ali Zain al-Abidin ini.
Cucu Rasulullah SAW yang dijuluki As-Sajad (permata ahli ibadah). Tentu saja julukan ini tidak sekadar basa-basi atau pujian melebihi kenyataan seperti kebanyakan julukan yang disematkan pada sebagian orang hari ini.
Imam Malik bin Anas ra berkata: “Setiap hari ia (Imam Zainal Abidin) solat beratus-ratus rakaat hingga wafatnya.”
Baliau lahir hari Jum’at tahun 38 Hijriah. Ibunya bernama Ghazalah, juga dikenal dengan nama Sulafah; adalah seorang(hamba)budak perempuan.
Dalam kitab Wafayât al-A’yân, Bin Khallikan menyebutkan bahwa ibunya tersebut adalah Sulafah binti Yazdajir; ertinya anak dari raja persia terakhir. Ketika ayah beliau; Imam al-Husein terbunuh, Ali Zain al-Abidin sudah berumur 23 tahun, ketika itu beliau dalam keadaan sakit.
Orang-orang Yazid bin Mu’awiyah berkata: “Kita harus membunuh anaknya ini!”. Namun beberapa orang dari mereka menolak, seraya mereka berkata: “Bagaimana kita membunuh seorang anak yang sedang sakit!
Kita tinggalkan kaum perempuan dan anak sedang sakit semacam ini!”.
Tentang sifat-sifat Ali Zain al-Abidin, az-Zuhri berkata: “Saya tidak pernah melihat dari turunan Bani Hasyim yang lebih utama dan lebih alim dari Ali Zain al-Abidin”. Diriwayatkan bahwa apa bila beliau telah wuduk hendak solat maka wajahnya akan terlihat memucat.
Ketika ditanya apa penyebabnya, beliau menjawab: “Tidakkah kalian tahu di hadapan siapa saya hendak berdiri?!”.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu ketika rumah yang ditempati Ali Zain al-Abidin terbakar, sementara beliau sedang dalam keadaan sujud yang panjang.
Orang-orang di sekitarnya berteriak mengingatkannya agar ia segera keluar dari rumah tersebut. Namun hingga api padam ia masih tetap dalam keadaan sujudnya. Ketika ditanya apa yang membuat tidak takut dari api tersebut, beliau menjawab:
“Aku dilalaikan oleh api yang lebih besar (api neraka) dari pada api itu”.
Dalam kitab al-Ma’ârif, Bin Qutaibah meriwayatkan bahwa Ali Zain al-Abidin suatu ketika memerdekakan seorang budak perempuan miliknya sendiri, setelah itu kemudian beliau mengawini budak tersebut.
Ketika Abd al-Malik bin Marwan sebagai khalifah saat itu mengetahui peristiwa ini, ia menulis surat kepadanya berisikan ejekan dan cacian. Ali Zain al-Abidin kemudian menjawab surat tersebut mengatakan bahwa pada diri Rasulullah terdapat teladan yang patut kita tiru.
Rasulullah telah memerdekakan budaknya sendiri yang bernama Sofiyyah binti Huyay binti Akhtab, setelah itu beliau kemudian mengawininya.
Rasulullah juga telah memerdekakan Zaid bin Haritsah yang kemudian beliau kawinkan dengan anak ibu saudaranya Rasulullah sendiri yang bernama Zainab binti Jahsy.
Di antara sifat dermawan Ali Zain al-Abidin, dalam kitab Sifat al-Sofwah Bin al-Jauzi meriwayatkan bahwa penduduk Madinah tidak pernah tahu dari mana rezeki yang datang kepada mereka.
Ketika Ali Zain al-Abidin meninggal, mereka semua kehilangan rezeki yang selalu mereka dapatkan dalam setiap malam di hadapan pintu-pintu rumah mereka. Diriwayatkan bahwa jumlah mereka di Madinah ketika itu ada sekitar seratus keluarga.
Juga diriwayatkan bahwa bila datang kepadanya seorang yang meminta-minta, ia berkata: “Selamat datang wahai orang yang akan membawakan bekalku ke akhirat!”.
Salah seorang anak ‘Ammar bin Yasir meriwayatkan bahwa suatu ketika
sekumpulan orang sedang berkumpul di rumah Ali Zain al-Abidin. Kemudian beliau memerintah salah seorang budaknya untuk cepat melayani mereka. Ketika itu budak tersebut sedang berada di tempat pembakaran, maka secara tergesa budak tersebut datang menghadap ‘Ali,
dan dengan tanpa di sengaja masih ada besi pada dirinya. Tiba-tiba besi tersebut jatuh hingga ke tangga bawah dan menimpa tepat di kepala salah seorang anaknya yang masih bayi hingga bayi tersebut meninggal saat itu juga.
Namun reaksi yang ditunjukkan Ali Zain al-Abidin sama sekali tidak mengandung kemarahan. Bahkan beliau berkata kepada budaknya tersebut: “Engkau aku merdekakan, kerana engkau melakukan itu tanpa sengaja”.
Dalam riwayat lain disebutkan, suatu ketika Ali Zain al-Abidin mengunjungi Muhammad bin Usamah bin Zaid yang tengah dalam keadaan sakit. Setibanya di rumah Muhammad, Ali Zain al-Abidin mendapatinya dalam keadaan menangis.
Ketika Ali Zain al-Abidin bertanya apa yang membuatnya menangis, Muhammad menjawab bahwa ia tengah memiliki hutang yang kuatir tidak terbayarkan. Ali Zain al-Abidin berkata: “Berapa hutangmu?”
Muhammad menjawab: “Lima belas ribu dinar”.
Ali Zain al-Abidin berkata:
“Hutangmu akan aku bayar!”.
Di antara sifat-sifat kepribadiannya, diriwayatkan bahwa beliau sangat menghormati dan sangat banyak berbuat baik terhadap ibunya.
Hingga beliau tidak berani makan bersama ibunya tersebut karena kuatir tangannya mendahului untuk meraih makanan yang telah terlebih dahulu dilihat oleh mata ibunya.
Diriwayatkan pula bahwa dalam sehari semalam, Ali Zain al-Abidin solat seribu raka’at solat sunnah yang kerananya beliau digelari dengan as-Sajjad (banyak sujud).
Seorang tokoh salaf ; Juwairah bin Asma` berkata:
ما أكل علي بن الحسين بقرابته من رسول الله صلى الله عليه وسلم درهما قط
“Tidak pernah satu dirham pun Ali bin Husein makan kerana kekerabatannya dengan Rasulullah SAW”
Imam Muhammad bin Ishaq dan Jarir bin Mughirah menceritakan, “Ratusan rumah di Madinah hidup dengan baik tanpa tahu siapa orang yang mengantarkan makanan setiap malam ke depan pintu rumah mereka. Ketika Imam Ali Zainal Abidin wafat, mereka tidak lagi mendapatkan subsidi itu.
Barulah mereka sadar bahwa sosok yang selama ini membantu mereka secara diam-diam adalah Imam Ali Zainal Abidin. Ketika memandikan jenazahnya, mereka menemukan di punggungnya bekas mengangkat barang-barang berat.”
Kalau ada hal yang membuatnya murka maka itu adalah ketika ia dipuji secara berlebihan. Pernah suatu ketika beberapa orang memujinya secara berlebihan. Bukannya senang, ia malah berkata dengan suara tinggi :
ما أكذبكم وأجرأكم على الله ... نحن من صالحي قومنا وحسبنا أن نكون من صالحي قومنا ...
“Alangkah pembohongnya kalian… Alangkah lancangnya kalian terhadap Allah…Kami hanyalah bagian dari orang-orang baik diantara kami, dan itu cukup bagi kami…”
Suatu ketika ada seseorang mencoba memancing emosinya. Tapi ia tidak memperdulikannya. Merasa di abaikan, orang itu berkata: “Engkau yang aku maksudkan.”
Dengan tenang, ia berkata: “Memang dari engkau aku berpaling.”
Di kesempatan lain ada orang yang memfitnahnya. Menanggapi hal itu Imam hanya berkomentar :
إن كنت كما قلت فأستغفر الله وإن لم أكن كما قلت فالله يغفر لك
“Kalau aku seperti yang engkau katakan maka aku mohon ampun kepada Allah. Tapi kalau aku tidak seperti yang engkau katakan maka semoga Allah mengampunimu.”
Kenapa ia begitu dermawan? Kerana ia malu mendoakan orang dikurniakan syurga oleh Allah SWT, sementara ia sendiri pelit, kikir, kedekut memberikan sedikit dari dunianya untuk mereka.
Betapa ramai orang yang begitu ringan mendoakan syurga untuk orang lain. Tapi ketika sedikit dunianya diminta, ia enggan memberi.
Bukankah ini jadi pertanda bahwa doanya untuk orang lain agar dikurnia syurga hanya basa-basi belaka?
Imam Ali Zain al-Abidin wafat tahun 94 Hijriah. Satu pendapat mengatakan wafat tahun 99 Hijriah. Pendapat lain tahun 92 Hijriah. Dimakamkan di pemakaman Baqi’, di Madinah, dekat dengan makam pamannya sendiri;
al-Hasan bin ‘Ali di bawah sebuah kubah yang juga di bawahnya terdapat makam al-’Abbas bin Abd al-Mutalib; paman Rasulullah.
‏Diantara kalimatnya yang penuh hikmah adalah :
إن لله عبادا عبدوه رهبة فتلك عبادة العبيد ، وآخرين عبدوه رغبة فتلك هبادة التجار ، وآخرين عبدوه شكرا فتلك عبادة الأحرار
“Ada hamba Allah yang beribadah pada-Nya karena takut. Itulah ibadah para budak. Ada yang beribadah pada-Nya karena harap. Itulah ibadah para pedagang. Dan ada yang beribadah pada-Nya karena syukur. Itulah ibadah orang-orang merdeka.”
Pesan untuk kita dan mereka yang suka membanggakan diri sebagai keturunan Si fulan, muridnya Habib, Shaykh , Kiyai fulan, penerus Buya fulan, lalu menjadikan itu sebagai alat menangguk materi
Semoga bermanfaat
Biografi ‘Ali Zain al-Abidin asy-Sya’rani, ath-Tobaqât j. 1, h. 54-55,

{ Sumber dari  Hizbun AnNabi wa AaliBaitihi wa Ashabihi }






Share on Google Plus

About roslanTv Tarekat

Ut wisi enim ad minim veniam, quis nostrud exerci tation ullamcorper suscipit lobortis nisl ut aliquip ex ea commodo consequat. Duis autem vel eum iriure dolor in hendrerit in vulputate velit esse molestie consequat, vel illum dolore eu feugiat nulla facilisis at vero eros et accumsan et iusto odio dignissim qui blandit praesent luptatum zzril delenit augue duis.

0 comments:

Catat Ulasan