QAIS MERAWAT CINTA GILA.
Ada satu kisah gila, yang diperankan oleh orang yang gila pula bernama Qais bin Mulawwih bin Muzahim bin 'Adas bin Rabi'ah bin Ja'dah bin Ka'b bin Rabi'ah. Orang-orang lebih senang menyebutnya "Majnun" yang artinya si gila.Adapun Layla - demikian nama yang paling riskan disebut dalam kegilaan - bernama lengkap Layla binti Mahdi bin Sa'd bin Ka'b bin Rabi'ah, makhluk paling dirawat pemujaannya oleh Majnun, manusia yang tidak pernah mencintai dengan sederhana.
Kisah ini menjadi kisah cinta purba yang menginspirasi lahirnya cerita-cerita lain yang tak mau kalah dalam mencinta, sebut saja Romeo-Juliet. Bahkan datang dari sumber lokal, sebuah kisah berlatar belakang kapal menceritakan lika-liku drama tragis kedua tokohnya yang diberi nama Zainuddin-Hayati.
Kisah cinta Qais dan Layla memang tak pernah berakhir bahagia. Tetapi, bukan di situ uniknya. Pada saat derajat sosial memustahilkan kecintaannya, Qais tak pernah melawan takdir. Sejak ia berdamai dengan ego, sejak saat itu pula ia menjadi gila. Ia lebih memilih kesejatian daripada kebersamaan.
Sebagian menyatakan bahwa Layla tidaklah secantik dari apa yang diekspresikan Qais. Orang-orang ini tidak mengerti bahwa Qais tidak pernah memuja wajah. Ia hanya memuja Layla, Layla, dan Layla, bukan wajahnya.
Layla, bukan tak pernah mengijabah cinta, ia hanya ditumpas oleh keadaan. Mereka sudah bertemu, sudah saling berucap kata-kata sayang. Namun kepalang, ayah Layla tak pernah senang kepada lelaki yang dianggapnya masih ingusan dan tak terpandang. Meski begitu, ibunya pernah mengerti perasaannya, namun seorang ibu kadang tidak memiliki daya bila dihadapkan pada pilihan ayah.
Layla murung, menitihkan air mata, menangis sejadi-jadinya, bahkan ketika tidur sempat juga menggila, nama Qais pun disebut-sebut dalam keadaan mati kecilnya.
Tidakkah kalian tau bahwa Layla akhirnya menikah?
Ya.....
Tapi jangan pernah bayangkan bahwa Qais yang setiap malam jadi teman tidurnya. Sebab bila itu terjadi, kisah ini malah tidak akan pernah ada.
Layla menikah, Qais merana. Tak perlu tau dengan siapakah Layla menikah, yang jelas ini permulaan kisahnya.
Suatu ketika keduanya terhalang tembok menjulang yang menyelimuti rumah Layla. Qais berduka. Ia melamun, tubuhnya bergetar, bibirnya berucap Layla. Ayah Qais ternyata memperhatikan, memperhatikan duka dalam ketidakberdayaan. Ia tidak bisa apa-apa sembari menasehati Qais agar menyudahi pikiran tentang Laila.
Hingga satu masa, Qais diajak ayahnya pergi ke Mekkah dalam rangka mengobati hati yang sebetulnya tidak pernah patah. Manakala keduanya tiba di Mekkah, mereka langsung menuju Ka'bah. Sesudah sampainya disana, ayahnya berpesan :
اُنْظُرْ عَلَّكَ تَجِدْ دَوَاءً لِمَا بِكَ. فَتَعَلَّقْ بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ وَاطْلُبْ لِنَفْسِكَ الْخَلَاصَ.
“Lihatlah, semoga engkau menemukan obat bagi sakitmu. Peganglah kiswah Kakbah ini dan berdoalah agar Allah memberikanmu ikhlas.”
Mendengar perkataan ayahnya itu Qais justru menangis sambil tertawa. Sembari memegang Kiswah, ia berkata :
بِعْتُ رُوْحِيْ فِيْ حَلَقَةِ العِشْقِ.
وَالْعِشْقُ قُوْتِيْ وَبِدُونِ هَذَا الْقُوتِ فَوَاتِيْ.
فَلَا جَرَى الْقَدَرُ لِيْ بِغَيْرِ الْعِشْقِ.
فَيَا رَبِّ رَوَّنِيْ بِمَائِهِ،
وَأَدِّمْ لِعَيْنِيْ حُلْيَة الْاِكْتِحَالِ بِهِ.
وَيَا رَبِّ زِدْنِيْ مِنْ عِشْقِهَا،
وَإِنْ قَصُرَتْ عُمْرِيْ بِالْعِشْقِ فَزِدْهُ فِيْ عُمْرِهَا.
اَللَّهُمَّ زِدْنِيْ لِلَيْلَى حُبًّا،
وَلَا تَنْسَنِيْ ذِكْرَهَا أَبَداً.
“Aku telah menjual ruhku dalam lingkaran rindu mendemam.
Isyq (rindu mendemam) adalah makananku, tanpa keadaan itu matilah aku.
Jangan biarkan aku tanpa rindu-mendemam Layla.
Duhai Tuhan, airi aku denga air bening rindu.
Gelapkanlah mataku karena tidak tidur sebab merindu.
Duhai Tuhan, tambahkan rinduku kepadanya,
jika umurku pendek untuk merindu, tambahkanlah rindu itu pada umurnya.
Duhai Tuhan, deraskan cintaku pada Layla,
jangan biarkan aku melupakan dia selama-lamanya.”
Qais dan Ayahnya pulang dari Mekkah. Tau bahwa anaknya sudah tidak sehat, ayah Qais sengaja memasuki desa lewat jalur depan rumah Layla, semata-mata ingin menghibur anaknya. Qais seketika sumringah, kembang kempis begitu riang, berbinar-binar menatap mata ayahnya. Begitu sampai di depan rumah Layla, ia lalu mendekati temboknya, memeluk dindingnya, seraya berpuisi :
أَمُرُّ عَلَى الدِّيَارِ دِيَارِ لَيْلَى
أَقْبَلُ ذَا الجِدَارِ وَذَا الجـِدَارَا
وَمَا حُبّ الدِّيَارِ شَـغَفْنَ قَلْبِيْ
وَلٰكِنْ حُبّ مَنْ سـَكَنَ الدِّيَارَا
"Aku melewati dinding rumah ini, dinding rumahnya Layla.
Aku mengecup dinding ini dan dinding itu.
Sungguh, bukan dinding rumah ini yang membuat hatiku meluap-luap,
namun cintaku pada orang yang menetap di dalam rumah itu."
Sementara itu ayahnya berupaya mengajaknya pulang. Tidak lama setelah itu Layla dikabarkan menikah, kekasih hatinya. Dadanya meledak hingga jatuh pingsan. Hingga ia bangun, Qais meraung tersedu-sedu. Ucapannya mulai ngelantur. Ia kadang tertawa, kadang pula menangis.
Qais sempat menyesali cintanya kepada Layla. Bahkan sempat menuduh Layla berkhianat dan berdusta. Kemudian ia berkata :
أَيُّهَا الْقَلْبُ عِشْ خَالِيًا وَدَعْ عَنْكَ مَحَبَّةَ كُلِّ مَنْ لَا وَفَآءَ لَهُ
“Duhai hati, hiduplah menyepi, tinggalkan dari mencintai orang yang tak setia.”
Demikian juga dalam puisinya :
نَدِمْتُ عَلَى مَا كَانَ مِنِّيْ نَدَامَةً
كَمَا يَنْدَمُ الْمَغْبُوْنُ حِيْنَ يَبِيْعُ
فُؤَادِيْ بَيْنَ أضْلَاعِيْ غَرِيْبُ
يُنَادِيْ مَنْ يُحَبُّ فَلَا يَجِيْبُ
مَنايَ دَعِيْنِيِ فِيْ الْهَوَى مُتَعَلِّقَا
فَقَدْ مَتُّ اِلَّا أَنَّنِيْ لَمْ أَزُرْ قَبْرِيْ
عَلَيْكَ سَلَامُ اللهِ يَا غَايَةَ المنى
وَقَاتِلَتِيْ حَتَّى القِيامة والحشر
"Aku menyesal atas apa yang telah terjadi
sebagaimana orang yang menyesal karena tertipu saat menjual.
Hatiku, diantara tulang rusukku, tiba-tiba menjadi asing
Ia memanggil-manggil orang yang dicinta, meski tidak pernah diijabah.
Duhai harapanku...
Biarkan aku bergantung dalam cinta ini
Walau aku nanti mati, sementara kuburku belum kuziarahi.
Salam untukmu duhai puncak harapanku
Pembunuhku hingga kelak hari kiamat dan mahsyar."
Kalian pikir setelah kekecewaan itu Qais akan berhenti? Bukankah setelah itu awal cinta sejati?
Meski raga-raga mereka tak pernah bertemu, tetapi Qais tetap setia dalam mencinta. Qais kemudian menyendiri, lari ke tengah hutan, hidup bersama tumbuh-tumbahan dan hewan. Fisiknya tentu saja memprihatinkan. Tidak perlu diragukan lagi, ia adalah pemabuk yang luar biasa.
Qais terus bersyair memuja Layla. Hingga ia tiba pada fase dimana semuanya adalah Layla. Semua yang lahir dari lidahnya, semua perihal Layla. Ia melihat bulan, bulan adalah Layla. Ia melihat laut, laut adalah Layla. Bahkan ia melihat anjing, anjing adalah Layla.
Orang-orang kebingungan melihat kegilaannya sampai pernah ada seseorang yang mendatanginya, menyarankan agar ia menjauhi dan melupakan Layla. Sambil meradang, Qais pun menjawab lewat syairnya :
فَدِقَّ صلاب الصخر * رأسك سرمدا
فإني إلى حين * الممات خليلها
"Benturkanlah kepalamu pada kerasnya batu
Hingga matipun aku Kekasihnya....!!!"
Demikian juga ketika ada seseorang yang bertanya kepadanya :
"Hei Majnun, engkau lebih suka dunia ataukah Layla?"
Dengan tegas ia menjawab :
"Debu yang menempel di sendal Layla lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya"
"Kenapa engkau begitu tergila-gila pada Layla, padahal dia biasa-biasa saja, tidak cantik juga tidak menarik?"
Majnun pun menjawab :
"Ambillah mataku dan cobalah lihat dia dengan keduanya. Cinta tidak buta, ia hanya melihat yang mungkin tidak orang lain lihat"
Ya, Qais memang lambang pecinta. Bahkan ia sempat mengajari para hamba bagaimana mencintai dengan sebenar-benarnya.
Waktu itu ia berjalan ria gegap gempita. Tak sadar, ia ternyata berjalan di depan orang-orang yang sedang sholat. Sontak, orang-orang itu pun murka. Wajar saja, tindakan Qais tentu dianggap memancing amarah. Mereka berkata :
"Hei Majnun, apakah engkau sudah gila, berjalan-jalan di depan orang yang sedang sholat?"
Qais pun menjawab :
"Ohh maaf, aku terlalu fokus menghampiri kekasihku sampai-sampai tidak melihat kalian sedang sholat. Lantas, mengapa kalian bisa memperhatikanku saat kalian sedang menghampiri sang maha kuasa?"
Jawaban Qais membuat semuanya terbungkam. Kita disadarkan Qais, diuji Qais, ternyata seringkali cinta kita kepada Allah tak mencerminkan cintanya para pecinta, seperti cintanya Qais kepada Layla.
[ Sumber dari Arifin Zatria Linkin SYAIR PARA SUFI ]
0 comments:
Catat Ulasan