TIGA TAHAPAN PENYUCIAN DIRI DIDALAM TASAWUF
( TAKHALLI ,TAHALLI ,TAJALLI )
Didalam ajaran tasawuf apabila seseorang ingin mencapai Maqom yang sempurna ( wusul ) dalam perjalanan spiritualnya maka haruslah menempuh tiga jalan ini yaitu : TAKHALLI, TAHALLI DAN TAJALLI.
A. TAKHALLI
Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat bathin. Maksiat lahir, akan melahirkan kejahatan kejahatan yang merusak seseorang dan mengacaukan masyarakat. Sedangkan maksiat bathin lebih berbahaya lagi, karena tidak kelihatan dan biasanya tidak disadari dan sukar dihilangkan. Maksiat bathin itu adalah pembangkit maksiat lahir dan selalu menimbulkan kejahatan kejahatan baru yang diperbuat oleh anggota badan manusia. Dan kedua maksiat itulah yang mengotori jiwa manusia setiap waktu dan kesempatan yang diperbuat oleh diri sendiri tanpa disadari. Semua itu merupakan hijab atau dinding yang membatasi diri dengan Tuhan.
Sifat sifat yang mengotori jiwa manusia itu adalah seperti dzalim, bakhil, berbuat dosa besar , bermegah megah, khianat, dendam, dengki, dusta, kufur ni’mat, ria, mencuri, sombong dan meminum khamr.
Takhalli juga berarti mengosongkan diri dari akhlak tercela itu. Salah satu akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan timbulnya akhlak tercela lainnya adalah ketergantungan pada kenikmatan duniawi.
Membersihkan diri sifat sifat tercela oleh kaum sufi dipandang penting karena sifat sifat ini merupakan najis maknawi (najasah ma’nawwiyah). Adanya najis najis ini pada diri seseorang, menyebabkannya tidak dapat dekat dengan Tuhan.
Dasar dari ajaran tasawuf tentang takhalli ini adalah firman Allah Subhanhu wa Ta'ala :
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا، وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
Artinya :
"Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotori jiwanya". (asy Syams ayat : 9,10)
Dalam hal menanamkan rasa benci terhadap kehidupan duniawi serta mengendalikan hawa nafsu, para sufi berbeda pendapat.
Sekelompok sufi yang modern berpendapat bahwa kebencian terhadap kehidupan duniawi , yaitu sekedar saja tidak melupakan tujuan hidupnya, namun tidak meninggalkan duniawi sama sekali. Demikian pula dengan pengendalian hawa nafsu itu cukup dikuasai melalui pengaturan disiplin kehidupan. Golongan ini tetap memanfa'atkan dunia sekedar kebutuhannya dengan mengontrol dorongan nafsu yang dapat mengganggu stabilitas akal dan perasaan.
Sementara itu kelompok sufi yang ekstrim berkeyakinan bahwa kehidupan duniawi merupakan racun pembunuh yang sangat mematikan bagi kelangsungan cita cita seorang sufi. Persoalan duniawi adalah penghalang perjalanan karena nafsu yang bertendensi duniawi harus ditahlukkan agar manusia bebas berjalan menuju tujuan yaitu memperoleh kebahagiaan spiritual yang hakiki.
B. TAHALLI
Tahalli adalah upaya menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak akhlak tercela. Tahalli juga berarti menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan perbuatan baik. Berusaha agar dalam setiap gerak perilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban yang bersifat zahir maupun yang bersifat bathin. Kewajiban yang bersifat zahir adalah kewajiban yang bersifat formal, seperti sholat, puasa, zakat dan haji. Adapun kewajiban yang bersifat bathin yaitu iman, keta'atan, dan kecintaan kepada Tuhan.
Tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap takhalli. Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala sikap mental yang buruk dapat dilalui (takhalli), usaha itu harus berlanjut terus ketahap berikutnya yang disebut tahalli.
Sebab apabila satu kebiasaan telah dilepaskan tetapi tidak ada penggantinya, maka kekosongan itu dapat menimbulkan frustasi. Oleh karena itu, ketika kebiasaan lama ditinggalkan harus segala di isi kebiasaan baru yang baik.
Dasar dari tahalli ialah firman Allah Q.S An Nahl: 90 yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya :
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
( QS An nahl ayat 90 )
Menurut imam Al Ghazali, jiwa manusia dapat diubah, dilatih, dikuasai, dan dibentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri. Perbuatan baik yang sangat penting di isikan kedalam jiwa manusia dan dibiasakan dalam perbuatan agar menjadi manusia paripurna (insan kamil).
Perbuatan baik itu, antara lain sebagai berikut:
a.Taubat
Kebanyakan sufi menjadikan taubat sebagai perhentian awal dijalan menuju Allah. Pada tingkatan terendah, taubat menyangkut dosa yang dilakukan anggota badan. Pada tingkat menengah, taubat menyangkut pangkal dosa dosa, seperti dengki, sombong, dan ria. Pada tingkat yang lebih tinggi, tobat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa bersalah. Pada tingkat terakhir, taubat berarti penyesalan atas kelengahan pikiran dalam mengingat Allah. Taubat pada tingkat ini adalah penolakan terhadap segala sesuatu yang dapat memalingkan dari jalan Allah.
Al Ghazali mengklasifikasikan taubat menjadi tiga tingkatan yaitu
- Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih pada kebaikan karena takut terhadap siksa Allah.
- Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju situasi yang lebih baik lagi. Dalam tasawuf keadaan ini sering disebut dengan inabah
- Rasa penyesalan yang dilakukan semata mata karena keta'atan dan kecintaan kepada Allah hal ini disebut aubah.
b.Khauf dan Raja’
Bagi kalangan sufi khauf dan raja’ berjalan seimbang dan saling mempengaruhi.
Khauf adalah perasaan takut seorang hamba semata mata kepada Allah, sedangkan Raja’ adalah perasaan hati yang senang karena menati sesuatu yang diinginkan dan disenangi.
Khauf dan raja’ saling berhubungan, kekurangan Khauf akan menyebabkan seseorang lalai daan berani berbuat maksiat, sedangkan Khauf yang berlebihan akan menjadikan seseorang menjadi putus asa dan pesimistis. Keseimbangan antara Khauf dan Raja’ sama sama penting karena tanpa Raja’, orang akan serba khawatir, tidak mempunyai gairah hidup, serba takut, dan pesimistis. Dimilikinya Khauf dalam kadar sedang akan membuat orang senatiasa waspada dan hati hati dalam berperilaku agar terhindar dari ancaman.
Dengan demikian dua sikap tersebut merupakan sikap mental yang bersifat introspeksi, mawas diri, dan selalu memikirkan kehidupan yang akan datang, yaitu kehidupan abadi di alam akhirat.
c. Zuhud
Zuhud yaitu ketidak tertarikan pada dunia atau harta benda. Zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu:
- Zuhud yang terendah adalah menjauhkan diri dari dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat.
- Menjauhi dunia dengan menimbang imbalan akhirat
- Merupakan maqam tertinggi adalah mengucilkan dunia bukan karena takut atau karena berharap, tetapi karena cinta kepada Allah.
Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai arti apa apa. Sesuai dengan pandangan sufi, hawa nafsu duniawilah yang menjadi sumber kerusakan moral manusia. Sikap kecenderungan seseorang kepada hawa nafsu, mengakibatkan kebrutalan dalam mengejar kepuasan nafsunya. Dorongan jiwa yang ingin menikmati kehidupan dunia akan menimbulkan kesenjangan antar manusia dengan Allah.
d. Fakir
Fakir bermakna tidak menuntut lebih banyak dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap mental fakir merupakan benteng pertahanan yang kuat dalam menghadapi pengaruh dalam menghadapi kehidupan materi. Hal ini karena sikap fakir dapat menghindarkan seseorang dari semua keserakahan. Dengan demikian, pada prinsipnya sikap mental fakir merupakan rentetan sikap zuhud. Hanya saja, zuhud lebih keras menghadapi kehidupan duniawi, sedangkan fakir hanya sekadar pendisiplinan diri dalam memanfaatkan fasilitas hidup. Sikap fakir dapat memunuculkan sikap wara’, yaitu sikap berhati hati dalam menghadapi segala sesuatu yang kurang jelas masalahnya. Apabila bertemu dengan satu persoalan baik yang bersifat materi maupun non materi yang tidak pasti hukumnya lebih baik dihindari.
e. Sabar
Menurut Al Ghazali, sabar adalah suatu kondidi jiwa yang terjadi karena adanya dorongan ajaran agama dalam mengendalikan hawa nafsu. Dengan demikian, sabar berarti konsisten dalam melaksanakan semua perintah Allah, menghadapi kesulitan, dan tabah dalam menghadapi cobaan selama dalam perjuangan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, sabar erat hubungannya dengan pengendalian diri, sikap dan emosi. Apabila seseorang telah mapu mengendalikan nafsunya, maka sikap sabar akan tercipta.
Tercapainya karakter sabar merupakan respon dari keyakinan yang dipertahankan. Keyakinan adalah landasan sabar, apabila seseorang telah yakin bahwa jlan yang ditempuhnya benar, maka ia akan teguh dalam pendiriannya walaupun menghadapi tantangan.
f. Ridha
Menurut Ibnu Ajibah, ridha adalah menerima hal hal yang tidak menyenangkan dengan wajah senyum ceria. Seorang hamba dengan senang hati menerima qadha dari Allah dan tidak mengingkari apa yang telah menjadi keputusanNYA.
C. TAJALLI
Tajalli ialah hilangnya hijab dari sifat sifat kebasyariyyahan (kemanusiaan), jelasnya nur yang sebelumnya ghaib, dan fananya segala sesuatu ketika tampaknya wajah Allah. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa ketika melakukan takhalli dan tahalli tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilkakukan dengan kesadaran dan rasa cinta dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada NYA.
Dasar dari tajalli ini sebagaiman firman Allah, Q.S An Nur: 35 yang berbunyi:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ ۖ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya :
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
( QS An nur ayat 35 )
Setiap calon sufi perlu mengadakan latihan latihan jiwa, berusaha membersihkan dirinya dari sifat sifat tercela, mengosongkan hati dari sifat sifat hati, dan melepaskan segala sangkut paut dengan dunia. Setelah itu mengisi dirinya dengan sifat sifat terpuji, segala tindakannya selalu dalam rangka ibadah, memperbanyak zikir, dan menghindarkan diri dari segala yang dapat mengurangi kesucian diri baik lahir maupun bathin. Seluruh hati semata mata di upayakan untuk memperoleh tajalli dan menerima pancaran nur ilahi. Apabila Tuhan telah menembus hati hambanya, dengan nur NYA maka berlimpah ruahlah karunia NYA. Pada tingkat ini seorang hamba akan memperoleh cahaya yang terang benderang dan dadanya lapang. Pada saat, jelaslah segala hakikat ketuhanan yang selama ini terhalangi oleh kekotoran jiwa.
Jalan menuju Allah menurut kaum sufi terdiri atas dua usaha, pertama mulazamah, yaitu selalu berzikir. Kedua mukhalafah, selalu menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat melupakan NYA. Keadaan ini dinamakan safar kepada Tuhan. Safar merupakan gerak dari satu pihak, tidak dari pihak yang datang (hamba) dan tidak dari pihak yang di datang (Tuhan) tetapi pendekatan dari keduanya. Hal tersebut sebagaiman firman Allah Q.S Qaaf: 16, yang berbunyi:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.
( QS Qof ayat 16 )
Para sufi sependapat bahwa satu satu cara untuk mencapai tingkat kesempurnaan kesucian jiwa, yaitu dengan mencintai Allah dan memperdalam rasa cinta tersebut. Dengan kesucian jiwa, jalan untuk mencapai Tuhan akan terbuka.tanpa jalan ini tidak ada kemungkinan terlaksananya tujuan dan perbuatan yang dilakukanpun tidak dianggap sebagai perbuatan baik.
Dalam menempuh jalan (thorikat) untuk memperoleh kenyataan Tuhan (tajalli), kaum sufi berusaha melalui ridha, latihan latihan dan muhajadah (perjuangan) dengan menempuh jalan, pendidikan tiga tingkat yang dinamakan: takhalli, tahalli dan tajalli.
Adapun menempuh jalan suluk dengan sistim yang dinamakan: “muratabatu-thariqah” yang terdiri dari empat tingkat: (seperti sistim yang dipakai tarekat naqsabandiyah):
- Taubat
- Istiqomah: taat lahir dan bathin
- Tahzib: yang terdiri dari beberapa riyadah/latihan seperti puasa, mengurangi tidur dan menyendiri,
- Taqarrub: mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan bersholawat dan zikir terus menerus.
Dari pembahasan diatas kita bisa mengambil kesimpulan :
Takhalli adalah membersihkan diri dari sifat sifat tercela dan kotoran hati,
Tahalli adalah mengisi diri dengan sifat sifat terpuji dan menyinari hati,
Tajalli adalah menemukan kenyataan Tuhan.
(Wassalam)
( Sumber dari Haris HarisTHORIQAT NAQSYABANDIYAH )
0 comments:
Catat Ulasan