Jalaluddin Rumi





Ini tentang Rumi dan guru mistiknya yang menawan hatinya, Shamsuddin Tabriz. Ramai di antara kita meyakini bahwa pertemuan antara Shamsuddin Tabriz dengan Jalaluddin Rumi adalah keberuntungan yang amat besar bagi Rumi.
Perjumpaan itu mengubah hidupnya. Namun, dalam autobiografinya di bawah ini, Shamsuddin Tabriz menegaskan bahwa pertemuannya dengan Rumi adalah buah dari doanya yang sekian lama telah dia harapkan. Rumi adalah Wali yang hendak Shamsuddin Tabriz temui.
“Aku selalu memohon kepada Yang Maha Wujud,” kata Shamsuddin, “Izinkan diriku untuk bergabung dan menjadi sahabat para wali-Mu”. Pada sebuah mimpi dikatakan kepadaku, “Aku akan menjadikanmu sahabat dari seorang wali.”
Aku bertanya pada diriku sendiri, “Di manakah wali tersebut?”
Pada malam setelahnya dikatakan kepadaku, “Dia berada di Anatolia”. Ketika aku akhirnya menemukannya setelah sekian lama mencari, dikatakan kepadaku, “Sekarang masih belum waktunya.” (Tabrīzī 2004)
Pertemuan yang terjadi pada 11 Oktober 1244 itu bagi Rumi adalah sebuah hentakan kesadaran. Annemarie Schimmel (1975) menyebutnya sebagai percikan yang mengobarkan api cinta mistik. Rumi mengalami ekstase/hal/zuk selama beberapa bulan sekaligus, mengabaikan keluarga dan muridnya. Padahal perbincangan awal mereka nampaknya sederhana. Shamsuddin membandingkan keadaan mistik antara Abu Yazid al-Bistami dengan Sayyidina Muhammad.
“Abu Yazid berkata, “Maha Suci Aku, tidak ada yang ada di dalam jubah ini kecuali Tuhan.” “Bagaimana mungkin itu terjadi”, kata Shamsuddin “Sedangkan Nabi yang mulia hanya sederhana menyebut dirinya ‘hamba Tuhan’?”
Sebuah kesadaran yang sangat kuat muncul dalam diri Rumi. Namun, seperti kata Tabriz yang ketika itu berusia 60-an sedang Rumi di usia 37, “Sekarang masih belum waktunya.” Kita dapat membacanya, “Sekarang Rumi belum menjadi seorang wali seperti doa harapannya.
Kisah pertemuan Rumi-Tabriz menjadi simbol yang berbunga sebagai kisah-kisah.
Semerbak harumnya diterbangkan angin ke segala arah. Melahirkan 30.000 bait cinta bagi Rumi. Membawanya menjadi awan hujan, membawa kesejukan yang melingkupi dunia Barat dan Timur. Tak hairan, kini Rumi adalah salah satu penyair paling popular di dunia Barat, setelah sejak lama di dunia Timur.
Termasuk di Nusantara. Pada sebuah manuskrip, simbol pertemuan mereka berdua diabadikan. Manuskrip berkode Or. 5604 ini berbahan kertas daluwang. Di temukan di Perpustakaan University Leiden, Belanda. Manuskrip ini terdiri dari 33 halaman.
Jan Just Witkam (2007), ahli kajian manuskrip Islam, menyebutkan bahwa manuskrip ini mengandung tiga naskah.
Pertama adalah naskah Carita Syekh Shamsu Tabariz. Kedua adalah naskah tanpa judul yang berisi mantera, jampi, dan rajah. Ketiga adalah naskah tanpa judul. Ia berisi ajaran sufi. Pada satu bagian disebutkan ajaran tarekat Syatariyah.
Seluruh naskah dalam manuskrip ini ditulis dengan menggunakan aksara Pegon Jawa. Keadaan naskah kurang baik, karena terdapat lubang yang nampaknya hasil dari dimakan rayap, dan ada sobekan di hujung dari banyak halaman manuskrip ini. Namun, secara umum, teks yang ada di halaman masih jelas, sehingga isinya dapat dikenali.
Pada nyatanya, Rumi bertemu Tabriz yang telah menua. Namun, naskah ini mencipta sebuah imajinasi simbolik akan keagungan guru mulia, yang cerdas sejak masa mudanya.
Pertemuan mereka digambarkan dalam perjumpaan Shamsuddin Tabriz sebagai seorang anak kecil, seorang “rare elit”, yang berkedudukan sebagai “kadi”. Pada suatu hari Jumaat, di negeri Arab, Syekh kecil ini menemui “Maulana ” yang selesai memimpin jamaah Jumaat.
“Wahai Maulana Rumi dan semua kaum jamaah Jumaat, dalam sembahyang Jumaat siapa yang kalian sembah? Dalam sembahyang lima waktu, siapa yang kalian sembah?” kata Shamsuddin kecil.
Maulana Rumi dan seluruh jamaah Jumaat menjawab, “Kami menyembah Allah, jika tidak demikian maka tidaklah sah sembah kami”.
Jawaban yang diberikan “benar”. Manusia menyembah Tuhan dalam sembahyang mereka. Terlebih dalam Islam, aturan sembah telah diatur rinci, dan Allah hendaknya menjadi tujuan dalam niat solat mereka.
Namun, menurut Shamsuddin kecil, “rare elit”, jawaban tersebut tidak tepat.
“Wahai Maulana Rumi dan seluruh jamaah Jumaat, sia-sia semata sembah dan “penyembah” kalian. Yang kalian sembah hanyalah berhala jika kalian tidak mengetahui sembah kalian ke mana, tempat sembah kalian ada di mana, tujuan akhir sembah kalian ke mana, asal dari sembah kalian itu dari mana, dan akhirnya apa yang kalin sembah?” sanggah Shamsuddin Tabriz.
Lebih lanjut pada kisah yang mahsyur, Shamsuddin Tabriz hanya menyampaikan dua ucapan dari Abu Yazid al-Bustami dengan Sayyidina Muhammad, bahkan cenderung mempertanyakan ucapan Abu Yazid.
Dalam naskah itu, justru Shamsuddin Tabriz menunjukkan sikap pendukung ucapan Abu Yazid. Shamsuddin menyebutkan banyak dari sifat Allah, namun di sini dia nisbatkan kepada “ingsun”, “Aku”.
“Akulah Yang Pencipta, Akulah Yang Dicipta, Akulah Yang Mim, Akulah Yang Mim Dal, Akulah Yang Awal, Akulah Yang Akhir, Akulah Yang Dunia, Akulah Yang Akhirat..”
Kalimat ini tentu membingungkan bagi mereka yang awal dalam perjalanan keruhaniannya. Oleh sebab itu, pada akhir Syekh Shamsyu Tabariz penulis yang anonim mewanti-wanti pembaca dan pendengar kisah ini:
“Apabila ada yang mendengar kisah ini, ucapan dari Shamsuddin Tabriz dan tidak memahami maka diharamkan…”
Memang tidak dijelaskan apa yang diharamkan. Namun, ini sudah cukup dipahami. Sebagaimana dalam Alquran “Diharamkan ibu-ibu kalian..” maka diharamkan untuk dinikahi. Oleh sebab itu, diharamkan di sini dapat dipahami dalam dua segi, misalnya, diharamkan untuk meneruskan kisah ini, diharamkan untuk meyakini apa yang dia tiidak pahami dari terhadap ucapan syekh.
Banyak manuskrip lainnya yang menyimpan khasanah masuknya simbol Rumi dalam literatur Jawa. Dalam naskah kita, teks tentang Rumi disampaikan dalam bentuk prosa, namun dalam banyak teks lainnya teks Rumi disampaikan dalam bentuk tembang macapat.
Seperti Rumi, wadah (puisi) dan isi (makna) menjadi kesatuan wahana untuk menggambarkan dunia sakral yang dialami.
Q.S. az-Zumar (39:18) mengatakan:
اَلَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهۚ أُوْلٰۤئِكَ الَّذِيْنَ هَدَىٰهُمُ اللهۖ وَاُوْلٰۤئك هُمْ اُوْلُوْا الْأَلْبٰبِ
Ertinya: Mereka yang mendengarkan pendapat, lalu mengikuti pendapat yang lebih baik, mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang berakal.
( Hizbun AnNabi wa AaliBaitihi wa Ashabihi )
Share on Google Plus

About roslanTv Tarekat

Ut wisi enim ad minim veniam, quis nostrud exerci tation ullamcorper suscipit lobortis nisl ut aliquip ex ea commodo consequat. Duis autem vel eum iriure dolor in hendrerit in vulputate velit esse molestie consequat, vel illum dolore eu feugiat nulla facilisis at vero eros et accumsan et iusto odio dignissim qui blandit praesent luptatum zzril delenit augue duis.

0 comments:

Catat Ulasan